Langkah kami memburu, cemas dan panik tergambar jelas di wajah Risa.
“Maafin aku,
Aris. Kalau saja aku tidak terlalu lama di Flea Market, kita tidak akan
ketinggalan rombongan.” pinta Risa sesenggukan.
“Kau sudah
mengatakannya tujuh kali, Ris,” ujarku tanpa memandangnya, mataku fokus
mengamati sekitar, berharap menemukan rombongan kami di antara bule-bule Paris.
“Lagi pula, bagaimana bisa handphone-mu
ketiggalan?”
“Handphone-mu yang yang mati itu juga
sama useless-nya.”
Kami terus melangkah, berharap
tidak semakin tersesat di kota yang baru pertama kali dikunjungi. Ketika keluar
dari jalan setapak, kaki kami berhenti serempak.
“Itu Pond des
Arts?”
“Apa?” tanya
Risa bingung.
“Jembatan Cinta.”
Aku mendorongnya berlari menuju
Jembatan Sungai Seine. Kami terpana. Ribuan gembok warna-warni tersemat di
kedua sisi jembatan.
Risa meneliti beberapa gembok, dahinya
berkerut.
“Kau tidak
tahu? Orang-orang memasang gembok bertuliskan namanya dan pasangannya lalu
membuang kuncinya. Makanya jangan cuma baca cerita sihir.”
“Hey! Cerita magic-fantasy itu asyik, bisa
menyalurkan imajinasiku yang liar.”
“Well, terakhir kali kau berkutat dengan
barang-barang penyihir, membuat kita tersesat di Paris!”
Sontak kami terbahak. Kembang api
terpercik di hatiku. Aku mengeluarkan gembok merah kecil bertuliskan ARIS P
RISA dan mengaitkannya di sisi jembatan.
“Jangan harap
aku akan bilang ‘so sweet’. Dan, apa
maksud tulisan ini? Anagram kata PARIS dari nama kita?”
“Ayolah, Ris,
aku iseng saja.” Sergahku, menaruh kunci di genggamannya.
“Oke, ARIS dan
RISA bersatu dalam ikatan ‘P’ersahabatan.” Tangannya berayun melempar kunci ke arah
matahari senja.
Risa merusak momen yang kupikir
tepat untuk menyatakan peraaanku. Namun, aku terus berharap ‘P’ersahabatan akan
segera bermetamorfosis menjadi ‘P’asangan kekasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar