Selasa, 23 Februari 2016

Kesakralan Angka 7, Mitoni


Nusantara memang memiliki segudang adat dan tradisi yang lahir dari budaya para leluhur terdahulu yang kemudian terus dilestarikan secara turun-temurun. Aku teringat beberapa waktu lalu, tetanggaku mengadakan acara Mitoni atau tujuh bulanan. Tradisi yang juga disebut Tingkeban ini diadakan ketika seorang calon ibu sudah mencapai tujuh bulan usia kehamilannya. Tujuan dari acara ini adalah untuk mendoakan keselamatan calon bayi dan ibunya serta sebagai tolak bala dari segala kesulitan yang mungkin terjadi ketika proses melahirkan. Selain itu, terdapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya.

Kata Mitoni berasal dari awalan “am” dan kata “pitu” yang berarti kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke tujuh. Masyarakat Jawa percaya bahwa ketika bayi dalam kandungan telah berusia tujuh bulan, bayi tersebut sudah mempunyai tubuh yang sempurna, penciptaannya telah nyata dan sempurna. Hari pelaksanaannya pun tidak sembarangan karena harus ditentukan sebuah hari yang dianggap baik terlebih dahulu. Rangakaian acara mitoni ini terdiri atas siraman, memasukkan telur ke dalam kain calon ibu, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, nyolong endhog, dan terakhir kendhuren.


Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan  tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Proses siraman ini hanya dilakukan saat mitoni untuk calon anak pertama. Suasana selama pelaksanaan siraman adalah sakral tetapi riang.

Source here
Upacara memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu dilakukan sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah.

Selanjutnya yaitu upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak tujuh buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Motif kain tersebut adalah:
  1.      Wahyu Temurun,  maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu mendekatkan diri pada Tuhan dan selalu mendapat perlindungan-Nya.
  2.      Sido Asih, maknanya agar bayi yang akan lahir akan selalu mendapatkan cinta dan kasih oleh sesama dan memiliki sifat belas kasih.
  3.     Sido Mukti, maknanya agar bayi yang akan lahir memiliki sifat berwibawa dan disegani oleh sekelilingnya.
  4.       Truntum, maknanya agar keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi.
  5.       Sido Luhur , maknanya agar bayi yang akan lahir akan memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan santun.
  6.      Semen Romo, maknanya agar bayi yang dilahirkan memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasih Rama dan Sinta kepada rakyatnya.
  7.      Sido Derajat, maknanya agar bayi yang dilahirkan mendapat derajat yang baik dalam hidupnya.
Source here
Upacara selanjutnya yakni brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.

Source here
Setelah itu, dilanjutkan upacara medhot lawe utawa lilitan benang atau memutus lilitan janur. Prosesi memotong janur ini sendiri adalah pertama-tama janur yang telah diambil lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si calon ibu untuk kemudian dipotong oleh si calon ayah dengan menggunakan keris yang telah dimantrai. Pada proses memotong ini, sang calon ayah harus memotong putus pada kesempatan pertama yang kemudin dilanjutkan upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.

Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung). Kemudian dilanjutkan upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah.

Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai penutup dari rangkaian prosesi upacara tersebut adalah calon ayah dengan menggunakan busana kain sidomukti, beskap, sabuk bangun tulap, dan blangkon, dan calon ibu dengan mengenakan kain sidomukti kebaya hijau dan kemben keluar menuju ruang tengah dimana para tamu berkumpul. Di sini sebagai acara penutup sebelum makan bersama para tamu, terlebih dahulu dilakukan pembacaan doa dipimpin oleh sesepuh untuk kemudian ayah dari pihak pria memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon bapak dan calon ibu untuk dimakan bersama-sama. Tujuan dari makan tumpeng bersama ini adalah agar kelak anak yang akan lahir dapat rukun pula seperti orang tuanya. Usai makan bersama, acara dilanjutkan upacara penjualan rujak untuk para tamu sekaligus merupakan akhir dari seluruh acara tingkepan atau mitoni.

Begitulah tradisi mitoni diadakan sebagai tanda syukur dan doa kepada Tuhan atas anugerah anak yang diberikan kepada calon ayah dan ibu. Sebagai manusia, kita haruslah terus berjuang dan berusaha demi mencapai tujuan. Namun, kita juga jangan lupa berdoa agar diberikan yang terbaik. Apapun hasil akhirnya, kita harus tetap menerima dan mensyukurinya. Tradisi mitoni terus dilestarikan oleh masyarakatnya karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Upacara mitoni juga mengajarkan kita bahwa dalam menjalani kehidupan tidak boleh egois dan mementingkan diri sendiri, saling menolong dan welas asih haruslah diutamakan.

1 komentar:

  1. Sesuatu banget ya? Patut dilestarikan krn inilah pemersatu bangsa dn dikenal sepanjang hayat :)

    BalasHapus

Harry Potter - Delivery Owl